Sudah dua minggu aku dirumah, setelah tiga bulan lebih aku berada di
rehab tempat yang selama ini tidak aku inginkan, aku terjerat kasus narkoba
karena salah dalam memilih narkoba, aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang,
dulu aku dikenal sebagai anak yang patuh dan rajin, tapi setelah aku mengenal
dan mengkonsumsinya, semua berubah total.
Tak lagi kucium tangan ibu diwaktu pulang dan
pergi
Tak lagi salam terucap dari mulutku
Bahkan sholat dan mengaji sering aku tinggalkan
Sehingga pada suatu hari aku ketahuan menyimpan
beberapa gram heroin yang mengharuskanku keluar dari pesantren.
Itu semua adalah masa laluku, hingga kali ini aku masih
merasakan dampaknya. Hilang keceriaanku, tidak ada lagi semangat hidup, aku seakan putus asa, terpuruk dalam kegelapan,
tidak ada lagi teman, semua seakan mengucilkanku. Hanya ibu yang selalu
menguatkanku, memberi harapan dan semangat. Hanya ibu yang selalu menguatkanku,
berulang kali aku lihat ibu menangis, namun itu semua belum juga membuatku berubah, ibu
membuat peran ganda dalam keluargaku semenjak ayahku sakit dan tidak kunjung sembuh
hingga meninggal beberapa tahun lalu. Aku semakin merasa bersalah, tidak
berguna, tidak pantas hidup dan tidak ada lagi harapan bagiku. Semua semakin
gelap aku rasakan.
“Mir, kamu
sudah siap? Kita berangkat sekarang”. Tanya ibuku.
“Ya bu.”. jawabku lirih.
Hari ini aku dan ibu akan berkunjung kerumah
kakek dan nenek di Pare. Sudah lama aku tidak kesana, sejak aku mendekam di
rumah pengasinganku, biasanya aku berkunjung jika aku pulang dari pesantren.
Mbah
Rhosyid, begitulah orang-orang memanggil kakekku, beliau orangnya sabar, ramah
dan kata-katanya selalu menyejukan hati. Kakek yang telah mengajariku baca
tulis Al Qur’an di waktu kecil.
Aku masukan semua barang yang dibutuhkan
kedalam ransel. Aku ambil tasku lalu aku temui ibuku yang dari tadi sudah siap.
“Pintunya sudah
dikunci semua kan?”. Tanya ibu
“Sudah bu”. jawabku.
Segera aku setarter motorku dan tidak lupa membaca basmallah, begitulah yang diajarkan kepadaku.
“Jangan ngebut,
baca sholawat le...”. Aku hanya diam mendengarnya.
Kakekku
adalah pengrajin bambu, dengan tanganyalah sebuah bambu yang kelihatanya
bengkok, tidak berguna dan murah disulap menjadi kursi yang antik yang berharga
dan bernilai tinggi.
“Kamu kelihatanya
sedih le..?”. tanya kekek sambil menghisap
rokok terompetnya.
Aku hanya diam dan tidak bersuara.
“Apa yang kamu
pikirkan, apa kamu punya masalah?” Tanya kakek
lagi yang sepertinya memahami perasaanku, mungkin ibu sudah banyak brcerita
tentangku.
“Mir... kamu
lihat apa yang kakek buat?”, kakek bertanya sesuatu yang sebenarnya aku sudah tahu. Tapi bukan
itu tujuanya, ada maksud lain.
“Ya... ini
adalah kursi, kamu tahu dari apa kursi ini dibuat?” Tanyanya
lagi yang membuatku semakin tidak mengerti.
“Bambu kek”. Aku coba untuk
menjawab yang dari tadi hanya diam.
“He he he ya..
benar kursi ini kakek buat dari bambu yang bengkok-bengkok, menurut kebanyakan
orang tidak begitu berguna dan berharga bila dibandingkan bambu lain yang lebih
lurus, tapi bila bambu ini diolah dengan benar, kesabaran dan ketrampilan maka
jadilah sebuah karya seperti yang kamu lihat, yang harga dan nilainya jauh
lebih tinggi dibanding dengan bambu-bambu lain yang lebih lurus”. Jelas kakek.
Aku hanya diam tidak mengerti.
“Coba tebak,
berapa harga kursi buatan kakek?”. tanya kakek lagi.
“Emmm.. seratus
ribu kek”. Jawabku ragu.
“Eh eh eh..”. kakek tertawa
geli mendengarkan jawabanku.
“Loh kakek kok
malah tertawa?” Tanyaku semakin tidak mengerti.
“Mir... Amir..
kok murah amat kamu menghargai karya kakekmu ini. Mir kursi ini harganya
sepuluh kali lipat dari yang kamu pikirkan bahkan bisa lebih besar lagi”. Jawab kakek
bangga.
Aku sedikit kaget mendengar jawaban kakek.
Dengan memegang pundakku kakek berkata, “Mir..
semua orang pernah bersalah, karena memang manusia tempatnya salah dan lupa
tetapi bukan berarti kita harus putus asa menyerah, jika kesalahan jika
kesalahn tersebut kita sikapi penuh kesadaran dan kedewasaan, maka ia akan
menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya seperti bambu-bambu ini yang
kelihatan bengkok dan tidak berguna, dengan sentuhan, kesabaran dan ketrampilan
dia mampu menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya. Dan melampaui bambu-bambu
lain diatasnya kau paham nak?”.
Aku termenung memikirkan kata-kata kakek,
otakku menangkap sesuatu lalu merasap kedalam hatiku. Sehingga tidak aku sadari
air mataku terjatuh, aku peluk kakek erat. “ya kek. Aku mengerti,
terimakasih kek.. terimakasih.”.
Tiga hari sudah
aku berada di Pare, kini waktunya untuk pulang, aku dan ibuku berpamitan dengan
kakek dan nenek, aku cium tangan meraka, aku tatap wajah kakek, kakek hanya
tersenyum dan akupun mengangguk karena mengrti arti dari senyumanya.
Kini langkahku terasa lebih ringan. “Bu..
aku mau belajar lagi”. Ibu sepertinya heran dan kaget mendengar ucapanku.
“Ibu tidak
salah dengar kan?”. Tanya ibu ragu.
“Tidak bu, aku
mau belajar lagi, sungguh. Aku meyakinkan
ibu. Aku lihat pancaran kebahagiaan dari wajah ibu, wajah yang selalu membuatku
tenang dikala melihat dan mengingatnya.
Ibu mendekatiku dan memelukku dengan erat, aku
rasakan butiran hangat menetes di pundakku. Ya, ini adalah air mata kebahagiaan
dan do’a dari seorang ibu. Dalam dekapnya aku berkata “besok juga amir akan
berangkat ke pesantren”.
“Ya Allah...
akhirnya Engkau kabulkan do’aku, Engku kembalikan anakku”. Lirih sekali
aku dengar kalimat itu.
Tiba juga hari perpisahanku dengan ibu, yang
sebenarnya sangat berat aku rasakan, tai inilah yang harus aku lakukan. “Bu,
amir berangkat, do’akan aku”.
“Iya nak..
awali basmalah niatlah karena Allah, carilah ilmu dan sebarkan pada manusia,
do’a ibu menyertaimu”.
“Amin..” aku jawab
kata-kata ibu, itu semua adalah do’a bagiku.
Aku ciun tangan ibuku yang penuh berkah, aku
pandang wajahnya sebagai salam perpisahan.
“Bu sampaikan
salamku kepada kakek dan nenek. Wassalamualaikum”.
“Wa’alaikum
salam” jawab ibuku.
Bismillahirrohmanirrahim, aku langkahkan
kakiku, aku bulatkan tekadku dan aku tinggalkan kakiku untuk beberapa waktu
lamanya, demi satu tujuan dan kewajiban, Tholabul ‘Ilmi.
Aku hirup lagi
udara pesantren, aku lihat kanan dan kiri tidak banyak berubah. Banyak santri
lulusan dari pesantren lain yang melanjutkan di pesantren ini yang masyhur akan
ilmu gramatika arab (Nahwu & Shorofnya) nya.
Hari pertama sekolahku dimulai, semua
menerimaku dengan baik, dulu ketika aku dipulangkan, ibu meminta agar aku bisa
diterima kembali setelah sembuh, Alhamdulillah semua pengurus meloloskan
permintaan ibu.
Ternyata benar, dulu di kelasku yang muridnya
jumlahnya dua puluh satu, sekarang mencapai dua puluh lima siswa, sambil
menanti bel masuk kami berbincang-bincang mengenai kabar dll. Tidak terlewatkan
Muhyi teman asal Jember, dia berdarah Jawa-Madura, orangnya lcu bila bebicara
ala Maduranya.
“Kamu Amir ya?”. Tiba-tiba
seseorang menghampiriku dengan wajah yang serius.
“Ya.. Muhamad
Amiruddin”. Aku perkenalkan diriku.
“Aku Hakim,
Ro’is baru di kelas ini”. Katanya
“Ow.... kang
Hakim, senang berkenalan dengan dirimu”. Aku ulurkan
tangan sebagai salam perkenalan. Dia membalas uluran tanganku dan
menggenggamnya dengan erat.
“Mir, kami
semua tahu tentangmu, kami mau menerimamu di kelas ini tapi dengan syarat kamu
harus mampu menjawab tantangan dari kami”. Kata kang
Hakim
“Maksudmu?”. Aku bertanya,
tidak faham apa yang dipikirkanya.
“Kamu tahu kan,
kelas ini mendapat prestasi terbaik diantara kelas-kelas yang lain. Aku hanya
tidak ingin semua menjadi berantakan hanya karena satu orang”. Jawabnya.
“Jadi kamu
meragukanku?”. Tanyaku pelan.
“Hanya
memastikan”. Jawabnya
“Kang hakim
sampean itu ngomong apa? Semua berhak belajar di kelas ini tidak terkecuali
Amir..!!”. Dengan nada marah Muhyi membelaku.
“Ini bukan
urusanmu yi, jawabanya Amir yang aku tunggu”. Kata kang
Hakim dengan tegas, sepertinya tidak bisa ditawar lagi.
Aku pandang Muhyi, aku beri isyarat agar dia
diam saja.
“Baiklah aku
terima tantanganmu, katakanlah !”. aku jawab dengan tenang.
“Peraturanya
mudah, tiap-tiap anak dari kelas ini mengajukan pertanyaan tentang Nahwu dan
Shorof kepadamu, kamu cukup menjawabnya, tapi ingat tidak satupun boleh salah,
kamu sanggup?”. Tantangnya.
“Insya Allah..
Tegasku. Tapi harus ada yang lebih senior !”. aku mencoba
usul.
“Ya.. jangan
khawatir semua telah diatur, besok setelah Sholat Jum’at kita berkumpul di
sini, dan telah diputuskan penengahnya adalah kang sugiarto, senior kita”. Kata kang
hakim
“Setuju...!!!!”. jawab mereka
serempak, hanya Muhyi yang kelihatanya agak berat.
*setelah Sholat Jum’at.
Waktu telah
ditentukan, semua sudah berkumpul, aku tatap mereka semua, sepertinya mereka
telah mempersiapkan pertanyaan khusus untukku, yang harus aku jawab tanpa satu
pun yang meleset. “Ya Allah tolong lah aku”. Do’aku dalam hati.
“Kamu siap?”. Tanya kang
Sugiarto sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Insya Allah”. Jawabku
tenang.
Satu persatu dari murid yang ada mengajukan
pertanyaanya, berkali-kali terdengar “Kang Amir , apakah menurutmu susunan
kalimah seperti ini dan seperti ini dan apa alasanya”. Aku hanya
menggelengkan kepala mendengar pertanyaan mereka. Melihat jawaban yang ada
dariku mereka tersenyum puas, karena mereka berhasil memepermalukanku. Sebenarnya
aku hanya pura-pura tidak tahu dengan tujuan agar semua yang hadir menyampaikan
seluruh pertanyaanya. Setelah semua pertanyaan diajukan, aku mencoba
menjelaskan panjang lebar dari seluruh pertanyaan yang ada. “teman-teman
sekalian yang saya hormati. Saya datang dari Kandangan ke kota Kediri merasa
sangat senang karena banyak berjumpa
dengan teman lama dan baru yang tentunya lebih mendalam ilmunya yang harus saya
timba. Saya yang masih awam ini ingin mencoba untuk sedikit menjelaskan jawaban
dari pertanyaan yang teman-teman
sampaikan. Untuk pertanyaan pertama yang benar seperti ini dan alasanya seperti
ini, untuk pertanyaan yang kedua seperti ini alasanya seperti ini, dan
seterusnya”. Penjelasanku ini disambut decak kagum para murid yang hadir di
situ. Kang Sugiarto memutuskan ternyata tidak satupun penjelasan yang aku
sampaikan meleset, tiga puluh lebih pertanyaan berhasil aku jawab dengan tepat.
Lalu aku berlari keluar dari kelas. Aku berjalan dengan cepat, aku rasakan ada
dua tangan memegang pundakku, aku menoleh, aku melihat kakek dan ibu tersenyum
memendangku dan berkata “kamu berhasil nak”. Tiba-tiba mereka hilang,
aku terus berlari dan berlari, jalanku masih panjang, aku tidak boleh berhenti
di sini.
Ayah... ibu..
kakek... akhirnya aku temukan.
Oleh: M. Aminuddin
PPMT
No comments:
Post a Comment