Monday 28 December 2015

Aku harus mencintaimu 2

      Ternyata perhitunganku meleset jauh, berbalik 120 derajat. Aku tertunduk lemas tak mampu menatapnya lagi. (kasihan ya,, kalo nggak gue jotos loe)

"Bukan maksud apa-apa kak, dan bukan berarti Lia nggak menghargai perasaan kak Ivan, Lia malah bangga karena kak Ivan telah berani mengatakannya langsung di depan Lia. Lia bangga kak." Lia berusaha menghibur. Tapi seolah-olah pendengaranku tak mampu menerima suara apapun. Mulutku tak sanggup berkata, pikiranku tak sanggup menangkap dan mencerna. Aku tetap menundukkan kepala, menyembunyikan wajahku. Usahaku agar terlihat tegar kini tak sanggup lagi ku pertahankan.

"Kalau boleh tau, kenapa Lia?" Ku coba menguatkan diri untuk bertanya.

        Dengan suara lembut dan sangat berhati-hati, Lia mencoba menjelaskan kepadaku. "Kak, Lia nggak ingin harapan kita dan kedua orangtua kita menjadi berantakan karena sesuatu yang kita sebut cinta. Jalan kita masih panjang jangan sampai terhambat oleh batu penghalang yang berserakan di jalan."

"Tapi bukankah keduanya bisa berjalan bersamaan Lia?" Belaku.

"Kak, dulu kak Ivan berkata ketika Lia bertanya pada kak Ivan, apa resepnya kok jadi langganan juara? Sambil bercanda kak Ivan berkata, oh,, karena tuhan memberikan 9 akal dan 1 nafsu. Sedangkan Lia hanya di beri 1 akal saja. Itulah sebabnya Lia selalu kalah. He he,"
Ku coba tertawa sebisanya ketika ku ingat peristiwa itu. Tapi aku belum paham kemana arah pembicaraan Lia.

"Sekarang coba kita renungkan, apakah perasaan kakak tulus dari hati atau malah sebaliknya," Lanjut Lia.

        Plok, Plok, ceplak,, wajahku seakan digampar dengan bakiak. Aku yang mulai bangkit seakan tersungkur lagi, nyungsep di tanah. Lia hendak menyatakan bahwa aku memiliki 9 akal yang harusnya lebih faham soal perasaanku ini, sedangkan dia hanya memiliki 1, tidak lebih. Aku semakin tertunduk malu di hadapan gadis yang ku cintai dan ku hormati. Dia tetap seperti yang dulu, tegar, berwibawa tapi lembut.

"Kak, Lia benar-benar minta maaf karena belum bisa menerima perasaan kakak. Tapi jujur, Lia sangat bangga pada kak Ivan. Seandainya disuruh memilih, pasti kak Ivan lah yang aku pilih. Tapi cita-cita dan tugas kita masih panjang. Inilah prinsip Lia kak, kak Ivan pasti mengerti." Lia menutup pembicaraan dengan senyuman manis, yang membuatku semakin menangis.

        Tapi perlahan-lahan, aku mulai sadar apa yang di katakan Lia adalah benar adanya. Perasaanku mulai bangkit dan aku semakin kagum padanya. penilaianku sama sekali tidak meleset. Bahkan lebih dari perkiraanku. Kau memang istimidut, eh,, istimewa ...

        Ku beranikan menatap wajahnya yang ayu, damai di pandang, aku hanya bisa tersenyum dihadapan bidadariku ini. "Insyaallah Lia, dan terimakasih atas semuanya."

Catatan :
Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang tak ternilai harganya dari seorang gadis yang lebih muda dariku. Ku simpan perasaanku dengan rapi dan akan ku buka nanti pada waktunya. Kau hebat Lia, kau jauh di atasku meskipun aku yang nomer satu di kelas.

"Sudah jangan natap Lia terus kak, nanti tambah naksir lo,," Lia mengagetkan lamunanku. Tapi kali ini aku mengerti arti dari ucapan yang terakhir ini. He he,,

"Oh iya," jawabku kelingian.

        Setelah agak lama, akupun pulang dan kebetulan pak Herman dan bu Herman juga telah kembali dari urusannya.

"Lo, sudah mau pulang to nak,, kok tergesa-gesa?" Tanya mereka.

"Eh, injeh pak, bu, sudah sore mau istirahat dulu. Dari pagi belum pulang." Jawabku dengan tersenyum, "Dan terimakasih pak, bu, atas jamuannya."

"Sama-sama nak Ivan, hati-hati ya di jalan."

        Aku memandang Lia sekali lagi. Dia tersenyum sama seperti senyuman-senyuman sebelumnya yang meluluh lantakkan hatiku. Stop..

"Kak Ivan," Lia memanggil.

"Iya," jawabku.
"Hati-hati. Dan tetap semangat!" Katanya lembut.

"Wassalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka kompak.

        Di perjalanan, kembali ku renungi nasibku. Tiga kali nembak cewek, eh,,  gagal semua. Tapi ini juga pertama kalinya aku di tolak, tapi setuju dengan penolakan tersebut. Bukannya membenci, tapi malah tambah kagum dan semakin aku menghormatinya.

Lia Rahma,
Akan ku catat nama itu.

        Setelah beberapa hari, aku mendapat pesan dari Lia. Ku buka dan ku baca,

"Assalamualaikum kak Ivan, gimana kabarnya? Semoga tambah baik dan sehat seluler, eh,, selalu maksudnya. He he, senyum ya kak,
Oh ya, menjawab pertanyaan kakak beberapa hari yang lalu, insyaallah Lia akan meneruskan mondok, sambil kuliah tentunya. Agar dunia akhirat seimbang seperti kata ustadz Fauzi. He he,,
Kakak sendiri rencananya mau kemana? Kemana aja boleh asal jangan ke mertua kak, he he,,
Sekian dari Lia kak, di tunggu jawabannya ya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb."

Wa'alaikumsalam, jawabku dengan lisan. Aku belum membalas pesannya. Nanti, besok, atau lusa pasti akan ku balas.

Jangan berhenti, karena jalan masih panjang, waktu terus berputar dan umur semakin berkurang.
Semoga ada baiknya. SEKIAN.

Kandangan, 26 Desember 2015
By: Aminuddin

8 comments:

  1. Replies
    1. Yg buat aja bilangnya ini cerpen kok mas

      Delete
    2. Yg buat aja bilangnya ini cerpen kok mas

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Sepurone cak aq kesasar nk kene.....,,langsung ae ngeten gan...coro aq dadi ivan tak teplok endud kae ..lia...kel kel kel

    ReplyDelete