Monday 28 December 2015

Aku harus mencintaimu 2

      Ternyata perhitunganku meleset jauh, berbalik 120 derajat. Aku tertunduk lemas tak mampu menatapnya lagi. (kasihan ya,, kalo nggak gue jotos loe)

"Bukan maksud apa-apa kak, dan bukan berarti Lia nggak menghargai perasaan kak Ivan, Lia malah bangga karena kak Ivan telah berani mengatakannya langsung di depan Lia. Lia bangga kak." Lia berusaha menghibur. Tapi seolah-olah pendengaranku tak mampu menerima suara apapun. Mulutku tak sanggup berkata, pikiranku tak sanggup menangkap dan mencerna. Aku tetap menundukkan kepala, menyembunyikan wajahku. Usahaku agar terlihat tegar kini tak sanggup lagi ku pertahankan.

"Kalau boleh tau, kenapa Lia?" Ku coba menguatkan diri untuk bertanya.

        Dengan suara lembut dan sangat berhati-hati, Lia mencoba menjelaskan kepadaku. "Kak, Lia nggak ingin harapan kita dan kedua orangtua kita menjadi berantakan karena sesuatu yang kita sebut cinta. Jalan kita masih panjang jangan sampai terhambat oleh batu penghalang yang berserakan di jalan."

"Tapi bukankah keduanya bisa berjalan bersamaan Lia?" Belaku.

"Kak, dulu kak Ivan berkata ketika Lia bertanya pada kak Ivan, apa resepnya kok jadi langganan juara? Sambil bercanda kak Ivan berkata, oh,, karena tuhan memberikan 9 akal dan 1 nafsu. Sedangkan Lia hanya di beri 1 akal saja. Itulah sebabnya Lia selalu kalah. He he,"
Ku coba tertawa sebisanya ketika ku ingat peristiwa itu. Tapi aku belum paham kemana arah pembicaraan Lia.

"Sekarang coba kita renungkan, apakah perasaan kakak tulus dari hati atau malah sebaliknya," Lanjut Lia.

        Plok, Plok, ceplak,, wajahku seakan digampar dengan bakiak. Aku yang mulai bangkit seakan tersungkur lagi, nyungsep di tanah. Lia hendak menyatakan bahwa aku memiliki 9 akal yang harusnya lebih faham soal perasaanku ini, sedangkan dia hanya memiliki 1, tidak lebih. Aku semakin tertunduk malu di hadapan gadis yang ku cintai dan ku hormati. Dia tetap seperti yang dulu, tegar, berwibawa tapi lembut.

"Kak, Lia benar-benar minta maaf karena belum bisa menerima perasaan kakak. Tapi jujur, Lia sangat bangga pada kak Ivan. Seandainya disuruh memilih, pasti kak Ivan lah yang aku pilih. Tapi cita-cita dan tugas kita masih panjang. Inilah prinsip Lia kak, kak Ivan pasti mengerti." Lia menutup pembicaraan dengan senyuman manis, yang membuatku semakin menangis.

        Tapi perlahan-lahan, aku mulai sadar apa yang di katakan Lia adalah benar adanya. Perasaanku mulai bangkit dan aku semakin kagum padanya. penilaianku sama sekali tidak meleset. Bahkan lebih dari perkiraanku. Kau memang istimidut, eh,, istimewa ...

        Ku beranikan menatap wajahnya yang ayu, damai di pandang, aku hanya bisa tersenyum dihadapan bidadariku ini. "Insyaallah Lia, dan terimakasih atas semuanya."

Catatan :
Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang tak ternilai harganya dari seorang gadis yang lebih muda dariku. Ku simpan perasaanku dengan rapi dan akan ku buka nanti pada waktunya. Kau hebat Lia, kau jauh di atasku meskipun aku yang nomer satu di kelas.

"Sudah jangan natap Lia terus kak, nanti tambah naksir lo,," Lia mengagetkan lamunanku. Tapi kali ini aku mengerti arti dari ucapan yang terakhir ini. He he,,

"Oh iya," jawabku kelingian.

        Setelah agak lama, akupun pulang dan kebetulan pak Herman dan bu Herman juga telah kembali dari urusannya.

"Lo, sudah mau pulang to nak,, kok tergesa-gesa?" Tanya mereka.

"Eh, injeh pak, bu, sudah sore mau istirahat dulu. Dari pagi belum pulang." Jawabku dengan tersenyum, "Dan terimakasih pak, bu, atas jamuannya."

"Sama-sama nak Ivan, hati-hati ya di jalan."

        Aku memandang Lia sekali lagi. Dia tersenyum sama seperti senyuman-senyuman sebelumnya yang meluluh lantakkan hatiku. Stop..

"Kak Ivan," Lia memanggil.

"Iya," jawabku.
"Hati-hati. Dan tetap semangat!" Katanya lembut.

"Wassalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka kompak.

        Di perjalanan, kembali ku renungi nasibku. Tiga kali nembak cewek, eh,,  gagal semua. Tapi ini juga pertama kalinya aku di tolak, tapi setuju dengan penolakan tersebut. Bukannya membenci, tapi malah tambah kagum dan semakin aku menghormatinya.

Lia Rahma,
Akan ku catat nama itu.

        Setelah beberapa hari, aku mendapat pesan dari Lia. Ku buka dan ku baca,

"Assalamualaikum kak Ivan, gimana kabarnya? Semoga tambah baik dan sehat seluler, eh,, selalu maksudnya. He he, senyum ya kak,
Oh ya, menjawab pertanyaan kakak beberapa hari yang lalu, insyaallah Lia akan meneruskan mondok, sambil kuliah tentunya. Agar dunia akhirat seimbang seperti kata ustadz Fauzi. He he,,
Kakak sendiri rencananya mau kemana? Kemana aja boleh asal jangan ke mertua kak, he he,,
Sekian dari Lia kak, di tunggu jawabannya ya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb."

Wa'alaikumsalam, jawabku dengan lisan. Aku belum membalas pesannya. Nanti, besok, atau lusa pasti akan ku balas.

Jangan berhenti, karena jalan masih panjang, waktu terus berputar dan umur semakin berkurang.
Semoga ada baiknya. SEKIAN.

Kandangan, 26 Desember 2015
By: Aminuddin

Aku harus mencintaimu

By: aminuddin

     Siang ini udara terasa panas. Sinar matahari menembus bumi tanpa ada awan yang menghalangi. Ingin rasanya teleportasi ke kutub utara dan meneguk air es sepuasnya. Hahaha, itu hanya imajinasi efek dari pemanasan global.

Kata Einstein, "Imajinasi lebih hebat dari pengetahuan." Kok bisa?
    
       Gini penjelasannya (ehem), "Dengan logika kita bisa berpindah dari titik A menuju titik B. Tapi dengan imajinasi kita bisa menuju ke SEGALA arah dalam waktu yang bersamaan. Paham?" Hahaha, tak perlu di perpanjang, yang penting sekarang aku mau mencari obat dahaga, Kantin... ide bagus. Tapi bukan kantinnya, si mbak penjaga kantinnya, hahaha. Bercanda mas mbak,,, pastinya adalah es yang di jual, "Cleguk, cleguk,"  ah puas rasanya, dua gelas kutengguk habis sampai tetes terakhir. Maklumlah, tenggorokan bagai padang pasir yang kering dan kebakaran, hahaha. Imaji lagi.

       Oh ya, namaku Ivan, bukan Ifan Bachdim lo ya,, yang ganteng dan pandai bermain bola. Bukan juga Ivan Gunawan yang ahli merancang busana, hahaha. Sekali lagi bukan, jelasnya adalah Khanivan Muslima. Jangan ditambahi wamaa ana minal muslimin lo, kepanjangan, bagus sih.

     Hari ini adalah hari kelulusanku. Di bulan Juli ini, semua anak kelas XII bersuka ria, bersyukur atas kelulusan ini, termasuk aku. Acara wisuda selesai tepat jam 12.30 wib. Semua murid besertaan walinya berhamburan pulang. Tapi aku minta ijin pada orang tuaku dengan dalih menanti teman, hahaha. Teman sekelas dan teman hatiku, tentunya sudah bisa di tebak cewek atau cowok. Yah, dia adalah sosok yang aku kagumi dipandang dari segala sudut. Cantik oke, smart oke, ditambah lagi anaknya sopan dan kalem tapi tegas dan murah senyum. Pokoknya komplit lah, segala keindahan di tumpahkan kepadanya. Menurutku...

Lia namanya, Lia Rahma. Keren kan?! Iya, meskipun kalian tidak mengiyakan tetep saja kubilang keren,, hohoho bukan pemaksaan.

     Jujur, sebelumnya aku sudah pernah nembak cewek dua kali. Apa hasilnya? Semua menolak dengan alasan masing-masing. Huhu, ngenes :(

Yang pertama bilang, "Maaf Van, aku sudah punya gandengan." Duarrr, hatiku kacau dan lemas seketika. "Tanganmu kan ada dua, kenapa aku nggak di gandeng sekalian?." Ku coba menghibur diri dengan melontarkan pertanyaan konyol, dia hanya senyum. Kubalas meringis hihi,

Yang kedua bilang, "Van, aku baru aja putus sama pacarku. Kuharap kamu mengerti waktu yang tepat buat ungkapin itu sama seseorang." "Maaf ya Van." Itu yang dia bilang sambil berlalu pergi meninggalkanku. Ku raba wajahku, aku jadi gak yakin kalau aku ganteng. Jangan-jangan hanya perasaanku saja, atau karena sugesti dari orang tuaku yang bilang kalau  aku ganteng dewe. Kalau  itu sih jelas dan tak terbantahkan dengan dalil apapun karena kedua adikku cewek semua, haahahha. Mak...

      Dan kali ini ku yakin, haqqul yakin, kalo Lia bakal nerima perasaanku, amin. Ini tidak berlebihan dan pasti beralasan lo,

-pasal pertama,
Hubungan kami terasa dekat sekali, sedekat air dan mata atau air mata,haha,, dan lengket sekali selengket lem Alteco, cieeh,, huuu duoorr,

-pasal kedua,
Dia masih single, begitupun aku. Huwaah..

-pasal ketiga,
Dia mau dan setuju ketika ku ajak ketemuan hari ini, tepat di hari kelulusan kita. Bahkan ia sempat mengingatkanku agar tidak lupa tentang hal ini. "Kak, nanti jadi kan?" Masih terngiang di telingaku bisik cintamu, dut dut. Malah nyanyi dangdut, haha,, untuk anak yang lahir tahun 90-an pasti kenal dengan lagu yang dinyanyiin mbak Ike ini, hihi,,

Dia biasa memanggilku kakak, karena memang aku lebih tua dan harus di hormati (nggak sombong lo :D) nah,, begitu antusias kan?,,

Pasal selanjutnya adalah faslun finnikah. loh, kok malah ngaji, hehe,, jadi teringat ustadz Fauzi yang mengajar kitab kuning di madrasah kami.

Next

     Setelah menunggu sekitar 15 menitan, akhirnya yang di tunggu-tunggu muncul juga hidungnya. Subhanallah, itu baru hidungnya lo.

"Kak Ivan, udah nunggu lama ya? Maaf ya kak, tadi masih ngurusin raport." Sapanya sambil tersenyum ramah. Manis sekali, semanis es tebu.

"Em, nggak kok, baru 15 menit. Tambah lagi juga gak apa-apa." candaku. Lia hanya tersenyum mendengar jawabku, tetep manis tak berkurang sedikitpun.

     Perlu di garis bawahi ya. selain ku kagumi, dia juga sangat ku hormati. Ada hal yang berbeda pada dirinya dan ini yang membuatku yakin dialah yang terbaik. Dan kali ini aku akan lebih serius dari sebelumnya, ku harap hubungan ini nantinya akan selawas lawase, doanya ya,,

"Orang tua kamu sudah pulang?" Tanyaku.

"Sudah kak, tadi aku sudah pamit untuk pulang agak terlambat dan beliau mengiyakan." Jawabnya dengan senyuman.

"Alhamdulillah." Jawabku spontan.

"Eh kak, selamat ya, kakak meraih peringkat satu lagi." Selanya, mencairkan suasana.

"Oh iya dek, itu sudah langganan dari dulu." Jawabku sedikit bangga. Bercanda bos, aku emang suka bercanda. Bahkan dalam keadaan darurat pun aku berusaha tetap seperti itu. Bukannya munafik, hanya ingin menjaga perasaan sesama, bukan yang lain. Bukankah juga membuat hati orang lain senang adalah suatu pahalla? L-nya dobel biar mantab, haha,, itu yang diajarkan guru bangsa kita. Dan satu lagi, aku emang sedikit smart daripada yang lain. Ini gak ada unsur sombongnya lo,,. Cuma menirukan ucapan guru di madrasahku. Sumpah :)

Lia tertawa mendengar jawabanku. Dan itu artinya mission accomplished. Ting,,

"Lo lo lo,, kalian ngapain berduaan disitu? Pulang sana!!" Tiba-tiba suara pak Fauzi mengagetkan kami.

"Hehe,, nggeh pak, sekedap maleh, tasek enten bisnis." (iya pak, sebentar lagi, masih ada bisnis). Jawabku sekenanya. Sambil berlalu beliau mengacungkan kepalan tangannya. "Awas lo macem-macem!" Ancam beliau.

"Insyaallah, mboten pak," jawabku meyakinkan.

Beliau berbalik badan menghadap ke arah kami. "Ivan, Lia, kalian berdua hebat. Bapak bangga sama kalian."
"Lanjutkan!!!" Pungkas beliau bergaya ala presiden RI.

"Oke pak, insyaallah" jawab kami kompak.  Kali ini beliau benar-benar berlalu meninggalkan kami.

"Eh, jadi nggak???" Tanyaku pada Lia.

"Loh, kan kak Ivan yang ngajak, kok malah tanya hayo,,"

"Oh gitu ya," jawabku "let's go!"

      Kamipun meluncur ke rumah Lia dengan sepeda masing-masing. Sebenarnya sudah ku tawarkan padanya agar aku bonceng saja, tapi dianya nggak mau. malu dilihat orang katanya. Dan ketika ku ajak ketemu di tempat lain, diapun menolak dengan halus. "Di rumahku saja, nanti makan minumnya gratis tis," Ya apa boleh buat, manut yang penting berhasil, gumamku.

      Setelah sampai di rumah, ibu dan ayah Lia menyambut dengan ramah sekali. "O,, ini to yang namanya nak Ipan?" Tanya pak Herman yang tak lain adalah ayah Lia.

"Ivan pak, bukan Ipan." Protes Lia.

"Ya sama saja to nduk," pak Herman membela.

"Ya beda pak, kalo Ipan itu nama kampung, kalo Ivan sedikit berbau kota." Jelas Lia mantab. Kami pun tertawa bersama.

"Silahkan masuk nak Ivan!" Bu Herman mempersilahkan.

"Njeh bu" (iya bu,) jawabku.

      Singkat cerita, tinggallah Aku dan Lia di ruang tamu, pak Herman dan istrinya pamit keluar sebentar karena ada suatu urusan.
Kamipun ngobrol membahas kelanjutan study kami mendatang. Kuliah apa mondok, atau bahkan langsung menikah ha ha,. Setelah basa-basi akupun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada Lia yang selama ini masih terpendam jauh, di lubuk hatiku. Masih terukir namamu. Tet,, Naff. huwalah, bukan kuis lo ya,,

"Lia,"

"Ya kak," jawabnya sambil menatapku, serius tapi santai. Jujur, hatiku berdebar kencang seperti genderang yang mau jebol, huft..

"Sebenarnya tujuanku adalah ingin mengatakan sesuatu kepada kamu dalam pertemuan ini." Jelasku.

Lia tersenyum, "Ada apa to kak,? bikin penasaran aja," tanyanya.

Aku memberanikan diri membuka mulutnya, "aku ingin hubungan kita bukan sekedar teman, tapi lebih dari itu."

"Maksud kak Ivan apa to?" Tanya Lia penasaran.

      Dag dig dug, dag dig dug.. Jantungku berdebar semakin kencang. "Aku mencintaimu Lia." Kataku. Ku kumpulkan energi yang ada untuk mengatakan kalimat ini. Ibarat serial dragon ball, aku butuh bertransformasi menjadi super saiya jin untuk dapat mengatakannya. Lebay?? Memang cinta itu penuh dengan kelebaian. Ha ha, don't forget it!!

Mendengar ucapanku, Lia seakan kaget dan berkata, "Ah, kak Ivan ada-ada aja,"

"Benar Lia," kataku meyakinkan. "Aku serius." Ku tatap matanya, kali ini aku gak akan bergurau dulu.

Lia terdiam sejenak. Aku tau hal ini gak bisa di jawab seketika. Ku biarkan dia dalam diamnya. Ku harap kata setuju lah yang keluar dari bibirnya atau semacamnya. Amiin,, doaku.
Ehm. Lia membetulkan posisi duduknya dan menghela nafas panjang, pertanda dia akan segera menjawab.

"Kak, saya senang sekali bisa bertemu dan kenal sama kakak. Selain baik, kak Ivan juga juara kelas." Lia memulai jawabannya.
Tepat sekali, batinku. Ha ha,

"Kak Ivan adalah orang yang paling saya hormati daripada anak-anak yang lain. Kak Ivan selalu ada untuk Lia di saat Lia membutuhkan." Tuh kan, nggak sombong rek,,

"Tapi,," Lia menghentikan ucapannya dan menundukkan kepala.

"Tapi apa Lia?" Tanyaku penasaran, sangat.

"Untuk masalah ini," lanjutnya. "Lia belum bisa kak."

      Dyeerrr,, bagaikan di sambar petir di siang hari, bagaikan layang-layang yang terbang tinggi, tiba-tiba putus dari benangnya, bagaikan yang cerah tanpa disangka turun hujan. Ku rasa syair inilah yang tepat dan pas untuk menggambarkan perasaanku, suasana hatiku. Penantianku selama ini ternyata sia-sia belaka. Aku berusaha tetap tegar dan tak boleh terlihat cengeng di hadapan Lia walau batinku menangis. Hiks,, hiks,,,

To be continued,, :D

Friday 25 December 2015

Jika bukan jodoh

Aku mencintainya, 5 tahun lebih berlalu aku menemaninya, ketika sedih maupun senang, kuberikan cintaku dan hidupku sepenuhnya, 5 tahun lebih berlalu, dan tiba saatnya kami membicarakan tentang pernikahan kami tepat saat setelah lebaran, masih kuingat di mana dan kapan hal yang kutunggu itu dibicarakan.Kita berkeliling di rumah saudaranya dan kami katakan bahwa kita akan menikah dalam waktu dekat ini.

Tapi takdir berkehendak lain, aku ingat saat terakhir dia katakan akan bekerja di luar kota tempat tinggal kami, dia berkata akan menabung untuk biaya nikah kami yang berlangsung tahun ini.

Dan sesuatu yang paling menyadihkan akhirnya terjadi.

Seminggu setelah dia berada di kota lain, tiba-tiba dia memutuskan silarurahim kami, dia memblokir semua media sosial yang biasa kami gunakan untuk berkomunikasi, begitu pula keluarganya, semua telah diblokir, beberapa hari sebelum ini terjadi tak nampak sedikitpun ada masalah dalam hubungan kami.

Semua berjalan seperti biasanya, kami saling mengirim pesan menceritakan keseharian masing-masing. Saat aku telusuri dari beberapa SMS terakhirnya, bahasa pesannya tak seperti biasa, seperti orang lain yang mengetik beberapa pesan tersebut, karena bartahun tahun kami bersama, tak pernah meninggalkan satu sama lain, saya sangat mengenalinya dan dia sangat mengenali saya.

Hal yang paling menyakitkan ketika dia berkata dia tak akan menikahi saya, karena saya membawa hal buruk kepadanya, karena selama bertahun-tahun dengan saya dia tak menjadi lebih baik. Badan ini, tubuh ini, terasa melayang saat aku baca kalimat tersebut. Seakan gravitasi tak menahanku berdiri, seakan tubuh ini melayang, fikiran ini entah terbang ke mana, badan terasa lemas dan dada terasa ditekan dengan alat berat.

Bagaimana tidak, sehari sebelumnya tak terjadi apa-apa, tiba-tiba malam itu terjadi dengan tanpa ada tanda-tanda. Dia bahkan mengancamku jika aku menanyakan ini kepada keluarganya dia tak akan pulang ke kota kami dan tak akan memaafkanku. Aku sempat berfikir apa salahku sehingga dia menganggap remeh pernikahan kami, menghinakanku, jika pernikahan kami batalpun setidaknya bisa mengkonfirmasi kepada kuargaku dengan cara kekeluargaan.

Aku tak pernah berfikir hal seperti ini akan menimpaku jika aku lihat keseharian kami yang begitu penuh cinta. Jangankan menangis, bersedihpun dia tak akan membiarkanku, aku berfikir hal seperti ini hanya ada di sinetron-sinetron saja, dan jikapun ada pasti hanya 1 banding 1000 yang melakukan hal ini, dan tenyata angka 1 itu adalah aku. Dan masih kuingat ketika aku bertanya apakah dia telah mencintai wanita lain?

Dia menjawab jika aku mencintai wanita lain dia hanya sadar diri siapa dia. Aku berfikir mungkin dia telah mencintai wanita lain hanya dalam waktu 1 minggu, mungkin dia telah mencintai orang lain yang telah dia anggap lebih baik dariku.

Terakhir aku berkata jika kau benar-benar ingin menjadi lebih baik menikahlah kita besok, karena aku mempunyai tabungan kalau hanya untuk ijab dan syukuran, agar Allah memudahkan rizki kami, agar Allah memudahkan jalan kami, tapi apa mau dikata, jika hati tak lagi mencinta jika hati mudah tergoda, impian bertahun-tahun pun akan sirna.

Ah sudahlah inilah yang dikatakan tidak berjodoh, sedekat apapun dengan pernikahan yang sudah ditetapkan jika tak berjodoh mau dikata apa. Mungkin Allah sedang merencanakanku menikah dengan laki-laki yang tak merendahkanku, mungkin Allah sedang merencanakan agar aku lebih bersabar dan diperlihatkan bahwa dia adalah orang yang lari tak bertanggungjawab.

Dan seharusnya aku beruntung, ini terjadi sebelum pernikahan kami yang akan berlangsung dalam hitungan bulan. Untukmu yang meninggalkanku, aku baik-baik saja.

Thursday 19 February 2015

Mbah Rosyid


          Sudah dua minggu aku dirumah, setelah tiga bulan lebih aku berada di rehab tempat yang selama ini tidak aku inginkan, aku terjerat kasus narkoba karena salah dalam memilih narkoba, aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang, dulu aku dikenal sebagai anak yang patuh dan rajin, tapi setelah aku mengenal dan mengkonsumsinya, semua berubah total.
Tak lagi kucium tangan ibu diwaktu pulang dan pergi
Tak lagi salam terucap dari mulutku
Bahkan sholat dan mengaji sering aku tinggalkan
Sehingga pada suatu hari aku ketahuan menyimpan beberapa gram heroin yang mengharuskanku keluar dari pesantren.
Itu semua adalah  masa laluku, hingga kali ini aku masih merasakan dampaknya. Hilang keceriaanku, tidak ada lagi semangat hidup, aku  seakan putus asa, terpuruk dalam kegelapan, tidak ada lagi teman, semua seakan mengucilkanku. Hanya ibu yang selalu menguatkanku, memberi harapan dan semangat. Hanya ibu yang selalu menguatkanku, berulang kali aku lihat ibu menangis, namun  itu semua belum juga membuatku berubah, ibu membuat peran ganda dalam keluargaku  semenjak ayahku sakit dan tidak kunjung sembuh hingga meninggal beberapa tahun lalu. Aku semakin merasa bersalah, tidak berguna, tidak pantas hidup dan tidak ada lagi harapan bagiku. Semua semakin gelap aku rasakan.
“Mir, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang”. Tanya ibuku.
“Ya bu.”. jawabku  lirih.
Hari ini aku dan ibu akan berkunjung kerumah kakek dan nenek di Pare. Sudah lama aku tidak kesana, sejak aku mendekam di rumah pengasinganku, biasanya aku berkunjung jika aku pulang dari pesantren.
            Mbah Rhosyid, begitulah orang-orang memanggil kakekku, beliau orangnya sabar, ramah dan kata-katanya selalu menyejukan hati. Kakek yang telah mengajariku baca tulis Al Qur’an di waktu kecil.
Aku masukan semua barang yang dibutuhkan kedalam ransel. Aku ambil tasku lalu aku temui ibuku yang dari tadi sudah siap.
“Pintunya sudah dikunci semua kan?”. Tanya ibu
“Sudah bu”. jawabku.
Segera aku setarter motorku dan tidak lupa membaca basmallah, begitulah yang diajarkan kepadaku.
“Jangan ngebut, baca sholawat le...”. Aku hanya diam mendengarnya.
            Kakekku adalah pengrajin bambu, dengan tanganyalah sebuah bambu yang kelihatanya bengkok, tidak berguna dan murah disulap menjadi kursi yang antik yang berharga dan bernilai tinggi.
“Kamu kelihatanya sedih le..?”.  tanya kekek sambil menghisap rokok terompetnya.
Aku hanya diam dan tidak bersuara.
“Apa yang kamu pikirkan, apa kamu punya masalah?”  Tanya kakek lagi yang sepertinya memahami perasaanku, mungkin ibu sudah banyak brcerita tentangku.
“Mir... kamu lihat apa yang kakek buat?”, kakek bertanya sesuatu yang sebenarnya aku sudah tahu. Tapi bukan itu tujuanya, ada maksud lain.
“Ya... ini adalah kursi, kamu tahu dari apa kursi ini dibuat?” Tanyanya lagi yang membuatku semakin tidak mengerti.
“Bambu kek”. Aku coba untuk menjawab yang dari tadi hanya diam.
“He he he ya.. benar kursi ini kakek buat dari bambu yang bengkok-bengkok, menurut kebanyakan orang tidak begitu berguna dan berharga bila dibandingkan bambu lain yang lebih lurus, tapi bila bambu ini diolah dengan benar, kesabaran dan ketrampilan maka jadilah sebuah karya seperti yang kamu lihat, yang harga dan nilainya jauh lebih tinggi dibanding dengan bambu-bambu lain yang lebih lurus”. Jelas kakek.
Aku hanya diam tidak mengerti.
“Coba tebak, berapa harga kursi buatan kakek?”. tanya kakek lagi.
“Emmm.. seratus ribu kek”. Jawabku ragu.
“Eh eh eh..”. kakek tertawa geli mendengarkan jawabanku.
“Loh kakek kok malah tertawa?” Tanyaku semakin tidak mengerti.
“Mir... Amir.. kok murah amat kamu menghargai karya kakekmu ini. Mir kursi ini harganya sepuluh kali lipat dari yang kamu pikirkan bahkan bisa lebih besar lagi”. Jawab kakek bangga.
Aku sedikit kaget mendengar jawaban kakek.
Dengan memegang pundakku kakek berkata, “Mir.. semua orang pernah bersalah, karena memang manusia tempatnya salah dan lupa tetapi bukan berarti kita harus putus asa menyerah, jika kesalahan jika kesalahn tersebut kita sikapi penuh kesadaran dan kedewasaan, maka ia akan menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya seperti bambu-bambu ini yang kelihatan bengkok dan tidak berguna, dengan sentuhan, kesabaran dan ketrampilan dia mampu menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya. Dan melampaui bambu-bambu lain diatasnya kau paham nak?”.
Aku termenung memikirkan kata-kata kakek, otakku menangkap sesuatu lalu merasap kedalam hatiku. Sehingga tidak aku sadari air mataku terjatuh, aku peluk kakek erat. “ya kek. Aku mengerti, terimakasih kek.. terimakasih.”.
Tiga hari sudah aku berada di Pare, kini waktunya untuk pulang, aku dan ibuku berpamitan dengan kakek dan nenek, aku cium tangan meraka, aku tatap wajah kakek, kakek hanya tersenyum dan akupun mengangguk karena mengrti arti dari senyumanya.
Kini langkahku terasa lebih ringan. “Bu.. aku mau belajar lagi”. Ibu sepertinya heran dan kaget mendengar ucapanku.
“Ibu tidak salah dengar kan?”. Tanya ibu ragu.
“Tidak bu, aku mau belajar lagi, sungguh.  Aku meyakinkan ibu. Aku lihat pancaran kebahagiaan dari wajah ibu, wajah yang selalu membuatku tenang dikala melihat dan mengingatnya.
Ibu mendekatiku dan memelukku dengan erat, aku rasakan butiran hangat menetes di pundakku. Ya, ini adalah air mata kebahagiaan dan do’a dari seorang ibu. Dalam dekapnya aku berkata “besok juga amir akan berangkat ke pesantren”.
“Ya Allah... akhirnya Engkau kabulkan do’aku, Engku kembalikan anakku”. Lirih sekali aku dengar kalimat itu.
Tiba juga hari perpisahanku dengan ibu, yang sebenarnya sangat berat aku rasakan, tai inilah yang harus aku lakukan. “Bu, amir berangkat, do’akan aku”.
“Iya nak.. awali basmalah niatlah karena Allah, carilah ilmu dan sebarkan pada manusia, do’a ibu menyertaimu”.
“Amin..” aku jawab kata-kata ibu, itu semua adalah do’a bagiku.
Aku ciun tangan ibuku yang penuh berkah, aku pandang wajahnya sebagai salam perpisahan.
“Bu sampaikan salamku kepada kakek dan nenek. Wassalamualaikum”.
“Wa’alaikum salam” jawab ibuku.
Bismillahirrohmanirrahim, aku langkahkan kakiku, aku bulatkan tekadku dan aku tinggalkan kakiku untuk beberapa waktu lamanya, demi satu tujuan dan kewajiban, Tholabul ‘Ilmi.
Aku hirup lagi udara pesantren, aku lihat kanan dan kiri tidak banyak berubah. Banyak santri lulusan dari pesantren lain yang melanjutkan di pesantren ini yang masyhur akan ilmu gramatika arab (Nahwu & Shorofnya) nya.
Hari pertama sekolahku dimulai, semua menerimaku dengan baik, dulu ketika aku dipulangkan, ibu meminta agar aku bisa diterima kembali setelah sembuh, Alhamdulillah semua pengurus meloloskan permintaan ibu.
Ternyata benar, dulu di kelasku yang muridnya jumlahnya dua puluh satu, sekarang mencapai dua puluh lima siswa, sambil menanti bel masuk kami berbincang-bincang mengenai kabar dll. Tidak terlewatkan Muhyi teman asal Jember, dia berdarah Jawa-Madura, orangnya lcu bila bebicara ala Maduranya.
“Kamu Amir ya?”. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan wajah yang serius.
“Ya.. Muhamad Amiruddin”. Aku perkenalkan diriku.
“Aku Hakim, Ro’is baru di kelas ini”. Katanya
“Ow.... kang Hakim, senang berkenalan dengan dirimu”. Aku ulurkan tangan sebagai salam perkenalan. Dia membalas uluran tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
“Mir, kami semua tahu tentangmu, kami mau menerimamu di kelas ini tapi dengan syarat kamu harus mampu menjawab tantangan dari kami”. Kata kang Hakim
“Maksudmu?”. Aku bertanya, tidak faham apa yang dipikirkanya.
“Kamu tahu kan, kelas ini mendapat prestasi terbaik diantara kelas-kelas yang lain. Aku hanya tidak ingin semua menjadi berantakan hanya karena satu orang”. Jawabnya.
“Jadi kamu meragukanku?”. Tanyaku pelan.
“Hanya memastikan”. Jawabnya
“Kang hakim sampean itu ngomong apa? Semua berhak belajar di kelas ini tidak terkecuali Amir..!!”. Dengan nada marah Muhyi membelaku.
“Ini bukan urusanmu yi, jawabanya Amir yang aku tunggu”. Kata kang Hakim dengan tegas, sepertinya tidak bisa ditawar lagi.
Aku pandang Muhyi, aku beri isyarat agar dia diam saja.
“Baiklah aku terima tantanganmu, katakanlah !”. aku jawab dengan tenang.
“Peraturanya mudah, tiap-tiap anak dari kelas ini mengajukan pertanyaan tentang Nahwu dan Shorof kepadamu, kamu cukup menjawabnya, tapi ingat tidak satupun boleh salah, kamu sanggup?”. Tantangnya.
“Insya Allah.. Tegasku. Tapi harus ada yang lebih senior !”. aku mencoba usul.
“Ya.. jangan khawatir semua telah diatur, besok setelah Sholat Jum’at kita berkumpul di sini, dan telah diputuskan penengahnya adalah kang sugiarto, senior kita”. Kata kang hakim
“Setuju...!!!!”. jawab mereka serempak, hanya Muhyi yang kelihatanya agak berat.
*setelah Sholat Jum’at.
Waktu telah ditentukan, semua sudah berkumpul, aku tatap mereka semua, sepertinya mereka telah mempersiapkan pertanyaan khusus untukku, yang harus aku jawab tanpa satu pun yang meleset. “Ya Allah tolong lah aku”. Do’aku dalam hati.
“Kamu siap?”. Tanya kang Sugiarto sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Insya Allah”. Jawabku tenang.
Satu persatu dari murid yang ada mengajukan pertanyaanya, berkali-kali terdengar “Kang Amir , apakah menurutmu susunan kalimah seperti ini dan seperti ini dan apa alasanya”. Aku hanya menggelengkan kepala mendengar pertanyaan mereka. Melihat jawaban yang ada dariku mereka tersenyum puas, karena mereka berhasil memepermalukanku. Sebenarnya aku hanya pura-pura tidak tahu dengan tujuan agar semua yang hadir menyampaikan seluruh pertanyaanya. Setelah semua pertanyaan diajukan, aku mencoba menjelaskan panjang lebar dari seluruh pertanyaan yang ada. “teman-teman sekalian yang saya hormati. Saya datang dari Kandangan ke kota Kediri merasa sangat senang karena banyak  berjumpa dengan teman lama dan baru yang tentunya lebih mendalam ilmunya yang harus saya timba. Saya yang masih awam ini ingin mencoba untuk sedikit menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang  teman-teman sampaikan. Untuk pertanyaan pertama yang benar seperti ini dan alasanya seperti ini, untuk pertanyaan yang kedua seperti ini alasanya seperti ini, dan seterusnya”. Penjelasanku ini disambut decak kagum para murid yang hadir di situ. Kang Sugiarto memutuskan ternyata tidak satupun penjelasan yang aku sampaikan meleset, tiga puluh lebih pertanyaan berhasil aku jawab dengan tepat. Lalu aku berlari keluar dari kelas. Aku berjalan dengan cepat, aku rasakan ada dua tangan memegang pundakku, aku menoleh, aku melihat kakek dan ibu tersenyum memendangku dan berkata “kamu berhasil nak”. Tiba-tiba mereka hilang, aku terus berlari dan berlari, jalanku masih panjang, aku tidak boleh berhenti di sini.
Ayah... ibu.. kakek... akhirnya aku temukan.
Terimakasih semuanya.

Oleh: M. Aminuddin
PPMT         

Monday 16 February 2015

kesempurnaan batin


Seorang pemuda dan kekasihnya menikah dan majlis perkawinannya
sungguh meriah. Suatu majlis yg gemilang dan riang gembira serta
diiringi suara alunan rebana. Pengantin perempuan begitu cantik dan
anggun dg gaun putihnya dan pengantin lelaki dg tuxedo hitam yg gagah
serta tampan. Setiap pasang mata yg memandang setuju mengatakan
bahwa mereka pasangan yg saling mencintai dan serasi. .
Beberapa bulan kemudian, si istri berkata kepada suaminya. .
>“abang, saya baru saja membaca sebuah artikel dalam majalah tentang
bagaimana memperkukuh hubungan dan tali pernikahan kita (katanya
manja sambil menunjukkan majalah tersebut). Masing-masing dari kita
akan mencatat hal-hal yg tidak kita sukai dari pasangan kita, kemudian
kita akan membahas bagaimana kita mengubah hal-hal tersebut dan
membuatkan perkawinan kita lebih bahagia”. .
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal yg tidak ia sukai
dari pasangannya dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya
mencatat hal-hal kurang baik, sebab hal tersebut untuk kebahagiaan
mereka bersama. .
Keesokan pagi ketika sarapan mereka mulai membincangkannya. .
>”Saya akan mulakan dulu yaa”, kata istrinya
Lalu ia mengeluarkan tulisannya, banyak sekali yg dituliskannya, sekitar 3
muka surat. Ketika ia mulai membacakan satu per satu hal yg tidak ia
sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa air mata suaminya mulai
mengalir.
>”Maafkan saya bang, apa saya harus berhenti??”, tanyanya
*”Oh, tk mengapa, teruskanlah sayang”, jawab suaminya. .
Dan si istri terus membacakan semua yg ditulisnya, lalu kembali melipat
kertasnya dg manis diatas meja dan berkata dg bahagia .
>”Sekarang giliran abang membacakan tulisan yg abang tulis”. .
Dg suara pelan suaminya berkata
*”Abang tk mencatat sesuatupun di atas kertas ini. Abang berfikir bahwa
dirimu sudah sempurna, dan abang sekali-kali tidak akan merubah dirimu.
Abang menyayangi dan mencintaimu seadanya. Kamu terlalu cantik dan
baik bagi abang. Tak ada satupun dari pribadimu yg tak mmenyenangkan
abang”.
Si istri tersentak dan tersentuh hatinya oleh pernyataan dan ungkapan
cinta serta isi hati suaminya bahwa suaminya menerima ia seadanya. Ia
lalu tunduk dan menangis. .
>Abang maafkan saya”
TAK PERLULAH KITA MEMBUANG WAKTU UNTUK MEMIKIRKAN HAL-HAL
YG NEGATIF DARI PASANGAN KITA. TERIMALAH IA APA ADANYA.


 

sumber:sahabat

Friday 13 February 2015

Muqoddimah

Hanya sekedar blog iseng-iseng berisi beberapa cerpen yang di harapkan bisa menghibur pemirsa